Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kidung Malam 46

Pada postingan saya sebelumnya, saya menulis artikel tentang Sinta Obong, dan kali ini saya akan menulis tentang Kidung Malam 46, cerita ini masih ada kaitannya dengan cerita sebelumnya yaitu tentang cerita pewayangan. Pada waktu itu kunthi bersama lima anaknya telah masuk terowongan rahasia, menyusul peristiwa kebakaran hebat di Bale Sigala-gala. Namun pikiran dan hatinya masih tertinggal di ruang tempat ke enam petapa tidur.

Ia membayangkan bahwa keenam brahmana yang tidur nyenyak, tidak akan mampu menyelamatkan diri dari penguapan api yang merambat teramat cepat, betapa dahsyatnya kebakaran itu. Hawa panasnya mampu menembus beberapa langkah dari mulut terowongan. Bima menggendong Nakula dan Sadewa berjalan paling belakang menyusuri terowongan, menjauhi pintu terowongan yang terasa semakin panas. Mereka mengikuti cahaya putih yang berjalan paling depan. Bima berusaha menenangkan Ibu dan saudara-saudaranya, terutama sikembar Nakula dan Sadewa yang menangis ketakutan.

Siapakah cahaya putih didepan itu? Dialah Kanana? Abdi paman Yamawidura yang ahli membuat terowongan? Pertanyaan Dewi kunthi dan anak-anaknya rupanya tidak membutuhkan jawaban. Bagi mereka yang penting adalah sebuah cahaya putih itu akan menuntunnya dari terowongan ini menuju tempat yang aman, jauh dari kobaran api Bale Sigal-gala, api yang dinyalakan dari kobaran hati yang penuh dendam dan benci.

Sebenarnya apa yang terjadi di Bale Sigala-gala ? Bale artinya bangunan rumah, Gala adalah jabung. Bahan yang bisa menjadi keras seperti semen, namun mudah terbakar. Itulah alasan patih sengkuni menggunakan jabung sebagai bahan utama untuk membuat bangunan. Ditambah lagi dengan tiang-tiang penyangga bangunan, yang telah diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan jenis mesiu yang bisa meledak. Dengan demikian jadilah pesanggrahan Bale Sigala-gala yang siap dibakar dan diledakan. Sengkuni yakin, bahwa bale sigala-gala akan mampu mengubah tulang daging kunthi dan pendawa menjadi abu dan arang.

Purucona cepat bakar! bakar! bakar!! perintah tersebut dengan keras, namun walaupun begitu tidak ada seorang pun diantara kunthi dan para pandhawa yang bisa menyelamatkan diri keluar dari Bale Sigala-gala. Apalagi ruangan yang ditempati kunthi dan anak-anaknya telah dikancing dari luar. Sehingga dipastikan bahwa mereka terbakar di dalam ruangan.

Api berkobar ganas, disusul suara ledakan-ledakan keras dari tiang-tiang bangunan yang diisi sendawa dan gandarukem. Malang bagi purocana, undagi nomor satu di Hastinapura tersebut sengaja dijadikan tumbal untuk peristiwa Bale Sigala-gala dan kini ia setelah menyulut Bale Sigala-gala dilempar paksa ke dalam api oleh beberapa prajurit yang ditugaskan sengkuni. Karena jika tidak, dikhawatirkan purocona akan membeberkan rekayasa kebakaran di Balai Sigala-gala.

Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para korawa yang lain, serta para prajurit dan pekerja pesta, dari kejauhan memandang lidah-lidah api yang menimbulkan asap-asap hitam pekat. Tanpa berkedip patih sengkuni memandangi Bale Sigala-gala yang dibakar, untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun di antara kunthi dan anak-anaknya pada waktu menyelamatkan diri, keluar dari kobaran api. Artinya Bahwa kunthi dan kelima anaknya hangus terbakar. Karena memang hanya tinggal enam orang yang masih berada di dalam bangunan Bale Sigala-gala, karena yang lain telah diajak keluar sebelum kebakaran terjadi. Yah tinggal enam orang, kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dan pasti tubuh mereka telah menjadi arang dan abu, demikian pikir sengkuni.

Wajah Sengkuni dan warga kurawa nampak lega dan senang, karena dengan tewasnya para pendawa, tidak ada lagi yang menghalangi Duryudana menduduki tahta Hastinapura. Namun bagi yang tidak tahu menahu rencana dibalik semua itu, termasuk para pekerja pesta, peristiwa kebakaran di Bale Sigala-gala itu sesungguhnya mengherankan. Pasalnya bahwa warga kurawa dan prajuritnya tidak berusaha untuk memadamkan api juga perihal evakuasi. Semua warga kurawa yang mabuk, telah dibawa keluar dari Balai Sigala-gala sesaat sebelum kebakaran terjadi. Sepertinya ada rencanya sebelumnya bahwa Bale Sigala-gala sengaja dibakar. Tanda-tanda adanya kesengajaan dalam peristiwa kebakaran tersebut semakin dikuatan ketika menjelang detik-detik terjadinya kebakaran, terdengar teriakan "cepat bakar !"

Lepas dari sekenario yang dilakukan seperti peristiwa kebakaran Bale Sigala-gala merupakan tragedi kemanusiaan yang memilukan. Rakyat pedusunan yang berada dibawah bukit pesanggrahan terbangun karenanya. Mereka tidak tahu-menahu latar belakang dan penyebab kebakaran Bale Sigala-gala. Namun mata hati mereka menatap pilu, api yang berkobar menjilat angkasa pada dini hari itu. Dibenak mereka muncul gambaran yang memilukan. Adhuh, Dewi kunthi dan para pendawa ada disana. Tadi siang lewat di dusun ini. Dielu-elukan oleh warga dusun. Disambut sebagai calon raja pengganti pandudewanata. Rakyat berharap, pada saatnya nanti, ketika raden Puntadewa menjadi raja akan mampu merubah nasib mereka.

Namun saat ini, ketika api telah membakar Bale Sigala-gala, mereka menangis. Para pandhawa yang mereka cintai dan mereka harapkan akan menjadi raja yang adil bijaksana telah hangus terbakar, seperti harapan mereka akan kesejahteraan dan ketenteraman, telah lenyap ditelan asap. Dini hari yang naas itu akan segera berlalu, dan kidung malam pun tak terdengar lagi, namun rupanya fajar masih enggan menyinarkan cahayanya, sebelum yang bertikai membuka celah dihati.