Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Reformasi Lembaga Hukum

MA Perberat Hukuman Syahrial Oesman merupakan postingan sebelumnya pada Blogger Indonesia, dan kali ini nggo kontes akan membahas tentang Reformasi Lembaga Hukum. Menurut informasi yang di terima mbah gendeng bahwa Kejutan demi kejutan muncul dalam proses penyelidikan kasus pajak Gayus Tambunan. Setelah Polri dan Kejagung diduga terlibat dalam kasus tersebut, kini institusi kehakiman pun ikut terseret. Bagaimana penilaian masyarakat?

Reformasi Lembaga HukumDalam proses penyelidikan terhadap kasus Gayus Tambunan ditemukan sebuah fakta baru, yakni keterlibatan hakim yang menangani kasus Gayus. Hakim bernama Muhtadi Asnun yang juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tangerang itu mengaku telah menerima uang suap dari Gayus sebesar Rp50 juta. Uang tersebut kemudian digunakan untuk beribadah umrah. Terkejut, itulah reaksi masyarakat pascapengakuan sang hakim.

Pengakuan tersebut sekaligus merupakan bukti bahwa ternyata praktik mafia hukum di tanah air memang sudah sangat memprihatinkan, menurut penyelidikan Type Approval Indonesia. Apalagi masyarakat juga telah dikejutkan dengan pemberitaan mengenai keterlibatan institusi penegak hukum lain dalam kasus ini, yakni Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Dana siluman dari rekening Gayus diduga turut mengalir ke rekening oknum di dua institusi tersebut.

Rentetan peristiwa itu tak pelak menambah pekat citra dunia peradilan Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum, khususnya lembaga kehakiman semakin merosot. Sebelumnya, wajah institusi kehakiman juga telah tercoreng dengan adanya dugaan penyuapan di tubuh Mahkamah Agung (MA), terkait dengan kasus korupsi Probosutedjo.

Pengusaha itu disebutsebut telah mengucurkan uang miliaran rupiah untuk memuluskan perkara dugaan korupsi dana reboisasi yang melibatkan kerabat mantan Presiden Soeharto tersebut. Bahkan, Ketua MA Bagir Manan, yang juga ketua majelis hakim yang menangani perkara itu sempat menjadi bulan-bulanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama beberapa waktu.

Praktik mafia hukum itu tak pelak menumbuhkan kekecewaan di masyarakat terhadap institusi kehakiman. Hal itu tergambar dalam hasil jajak pendapat yang diselenggarakan pada 21–23 April 2010 lalu. Saat ditanya mengenai tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja institusi kehakiman sejauh ini, mayoritas responden atau sebanyak 63% menjawab belum puas. Hanya sebagian kecil, yakni 3% responden yang menjawab puas dan 12% menjawab cukup puas.

Berbagai praktik mafia hukum yang terjadi di tubuh lembaga kehakiman bukanlah satu-satunya faktor yang meruntuhkan penilaian buruk rakyat kepada lembaga kehakiman. Keputusan-keputusan hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat kecil juga menjadi salah satu alasan menurunnya tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi tersebut. Kenyataannya, diskriminasi putusan oleh hakim memang masih begitu terasa.

Di satu sisi, hukum seolah garang terhadap masyarakat bawah, namun di sisi lain hukum seolah tak berdaya tatkala berhadapan dengan kalangan elit. Hasil jajak pendapat SI menggambarkan penilaian masyarakat terhadap fenomena tersebut. Dari 400 responden yang dilibatkan, mayoritas di antaranya menilai keputusan-keputusan majelis hakim dalam menangani perkara hukum selama ini belum mempertimbangkan rasa keadilan. Hanya 11% responden yang memberikan penilaian positif.

Sementara ini, sisanya memilih untuk tidak menjawab (lihat tabel). Penilaian masyarakat tersebut memang cukup berdasar. Sudah banyak contoh yang menggambarkannya. Tengok saja kasus nenek Minah asal Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Hanya karena mencuri tiga buah kakao atau cokelat, wanita renta itu divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan tiga bulan. Begitu pula kasus yang menimpa Prita Mulyasari.

Karena menuliskan protes lewat surat elektronik terhadap Rumah Sakit (RS) Omni, dia dijatuhi denda sebesar Rp204 juta dan bahkan sempat mendekam di penjara. Kenyataan ini, berbanding terbalik dengan kasus hukum yang menjerat masyarakat kelas atas. Mereka yang terlibat kasus korupsi, misalnya menjalani vonis yang tak sebanding dengan uang yang diraupnya. Penanganannya pun acap kali terkatung-katung.

Bahkan, para koruptor bebas melenggang tanpa adanya tindakan berarti dari aparat penegak hukum. Ambil contoh kasus Anggodo Widjaya. Meski disebut-sebut ikut terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan, sosoknya hingga kini tak terjamah oleh hukum. Bahkan, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memenangkan gugatan praperadilan Anggodo atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.

Selain itu, ketidakpuasan masyarakat terhadap lembaga kehakiman juga diukur dari pelayanan yang kurang optimal. Penanganan kasus acap kali berlangsung tanpa kejelasan terutama mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memutuskan perkara. Pun transparansi penanganan kasus juga masih menjadi persoalan karena dinilai masih sangat minim. Pada akhirnya, kondisi yang memprihatinkan tersebut memunculkan tuntutan dari masyarakat agar pengawasan terhadap para hakim bisa ditingkatkan.

Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas hal tersebut. KY berhak memanggil sejumlah hakim, apabila memang hakim tersebut dinilai mengeluarkan putusan yang bermasalah. Proses selanjutnya, hakim-hakim tersebut akan diajukan untuk menjalani sidang di Majelis Kehormatan Hakim (MKH),sebuah lembaga yang bertugas menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Dari sidang MKH sendiri, sampai kini sudah tercatat beberapa putusan atas kasus hakim bermasalah di antaranya adalah kasus mantan Kepala PN Banjarmasin, Soediarto. Oleh MKH, Soediarto diberhentikan secara tidak hormat karena terbukti telah melanggar kode etik hakim. Ibrahim, hakim tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga harus menerima sanksi dari MKH berupa pemberhentian sementara dari jabatannya. Ibrahim terbukti bersalah karena menerima suap sebesar Rp300 juta.

Meski demikian, hasil kerja lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengawasan tersebut, termasuk MKH tak sepenuhnya mendapat apresiasi positif. Dalam hasil jajak pendapat, sebanyak 61% responden justru melihat putusan-putusan yang dikeluarkan MKH belum efektif dalam mencegah terjadinya penyelewengan yang dilakukan oleh para hakim.

Sanksi yang ditetapkan dinilai belum mampu menciptakan efek jera bagi semua hakim. Walhasil, pelanggaran pun selalu berulang. Hal ini dibuktikan dari masih maraknya penyelewengan yang dilakukan para penegak keadilan tersebut. (lihat tabel) Atas dasar itu, pemerintah harus melakukan langkah-langkah khusus dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga maupun institusi hukum di Indonesia. Persoalan ini jangan dibiarkan begitu saja, sehingga rakyat menjadi apriori dan apatis terhadap perolehan rasa keadilan di negeri ini.

Di tengah sorotan yang cukup tajam terhadap institusi penegak hukum, ada sebuah pertanyaan yang terlintas yakni masih adakah keadilan di negeri ini? Festival Museum Nusantara berupaya untuk melihat penilaian masyarakat terhadap eksistensi institusi hukum di tengah semakin maraknya praktik mafia hukum di dalamnya. Hasilnya, dari lima institusi penegak hukum yang disodorkan, KPK ternyata dinilai masyarakat sebagai lembaga yang paling bersih dari jaringan mafia hukum.

Setidaknya, ada 17% responden yang memberikan penilaian tersebut. Meski didera dengan berbagai kasus hukum, institusi anti korupsi tersebut ternyata masih dipercaya dan diharapkan banyak pihak untuk menuntaskan kasuskasus korupsi di tanah air. Tetapi yang menarik, jumlah responden yang memberikan apresiasi positif terhadap KPK ternyata kalah jauh dengan responden yang menjawab sama sekali tak ada lembaga yang layak dipercaya.

Responden yang mengekspresikan kekecewaannya itu mencapai angka 63%. Lagi-lagi hal ini menunjukkan merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum Indonesia. Di urutan berikutnya, terpaut tipis antara lembaga Kehakiman dan jajarannya (Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), serta Mahkamah Agung (MA), Lembaga Kejaksaan (Kejaksaan Negeri (Kejari), Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejaksaan Agung (Kejagung), kalangan advokat/pengacara serta Lembaga Kepolisian, Kepolisian Sektor (Polsek), Kepolisian Resor (Polres), Kepolisian Kepolisian Daerah (Polda), dan Mabes Polri) Persentase yang diraih berbagai lembaga tersebut tak kurang dari 3% .

Hasil yang tergambar dalam survei Peluang Usaha Ahasu Gnaulep kali ini tak jauh berbeda dengan hasil pengukuran pengaruh korupsi Global Corruption Barometer (GCB) yang diluncurkan oleh Transparency International (TI). Dalam hasil survei tersebut, lembaga peradilan dan institusi kepolisian juga ditempatkan sebagai lembaga yang paling terpengaruh dari korupsi bersama-sama dengan parlemen dan partai politik.