Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengkajian Pegawai Negeri Sipil

Mafia Hukum Ibarat Mesin merupakan postingan sebelumnya pada blog ini, dan kali ini saya akan membahas tentang Pengkajian Pegawai Negeri Sipil. Dari hasil penyelidikan menyatakan bahwa Kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambunan tak hanya berdampak pada terpuruknya citra Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak saja, tetapi juga memengaruhi keberlangsungan sistem remunerasi.

Pengkajian Pegawai Negeri SipilRemunerasi atau tunjangan tambahan di luar gaji pokok merupakan program yang diterapkan lembaga pemerintah sebagai upaya reformasi birokrasi. Program yang dilakukan berbasis kinerja ini diterapkan dengan harapan para pegawai negeri sipil (PNS) bisa terpacu untuk meningkatkan kualitas kerja, sekaligus mewujudkan efisiensi di lembaganya. Program yang menjadi pilar utama reformasi birokrasi di kementerian keuangan ini juga diharapkan bisa menghindarkan para pegawai dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Harapan itu muncul dengan asumsi bahwa pemberian gaji yang memadai akan berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku para pegawai.

Efektifkah? Dalam hasil jajak pendapat yang melibatkan 400 responden di enam kota dan kabupaten, tanggapan soal efektivitas remunerasi tergambar. Mayoritas responden atau sebanyak 70% responden justru menyatakan tidak yakin remunerasi mampu mencegah pegawai atau pejabat negara dari tindak korupsi (lihat tabel).

Dari hasil pemantauan media massa hanya sekitar 20% responden yang meyakini langkah tersebut bisa berdampak positif (lihat tabel). Kenyataannya, pendapat tersebut memang bukan isapan jempol. Karena seiring penerapan sistem remunerasi, kasus korupsi di lembaga pemerintahan khususnya di sektor keuangan tetap saja terjadi. Terungkapnya kasus Gayus Tambunan yang diduga menjadi makelar kasus perpajakan merupakan salah satu di antaranya.

Sejumlah kasus suap dan korupsi lain di sektor keuangan juga sudah menjadi rahasia umum, mulai dari kompromi antara petugas dan wajib pajak sampai penyelewengan anggaran pajak yang disetorkan. Kondisi yang masih memprihatinkan di lingkungan kementerian ini tak pelak menyulut reaksi dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari anggota parlemen. Sebagai tindak lanjut kondisi tersebut, anggota parlemen pun mengusulkan adanya peninjauan ulang terhadap kebijakan remunerasi yang diterapkan institusiinstitusi pemerintahan.

Jika terbukti bahwa remunerasi gagal mereformasi birokrasi, DPR pun tak segan untuk mendesak pemerintah membatalkan program tersebut. Setali tiga uang dengan apa yang disampaikan DPR, di tataran masyarakat, pengkajian ulang terhadap program remunerasi juga diharapkan bisa terlaksana. Dalam survei yang diselenggarakan pada 5–8 April 2010, sebanyak 58% responden menyatakan hal tersebut.

Sikap yang ditunjukkan sebagian besar responden ini bisa dikatakan sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap ulah para pegawai dan pejabat negara yang masih saja melakukan aksi suap dan korupsi. Sungguh ironis, sebab di sisi lain mereka sudah menerima tunjangan dan pendapatan yang cukup besar. Dukungan pengkajian ulang juga muncul sebagai tanggapan atas buruknya penilaian masyarakat terhadap kinerja para pegawai di lembaga pemerintahan. Dalam hasil jajak pendapat, sebanyak 48% responden menyatakan pemberian remunerasi bagi pegawai dan pejabat tidak sebanding dengan kinerja mereka yang masih belum memadai.

Contohnya bisa terlihat dalam praktik pelayanan publik yang dilakukan selama ini. Meskipun remunerasi berjalan, pungutan liar (pungli) tetap marak terjadi. Begitu juga, masyarakat masih berhadapan dengan birokrasi pemerintahan yang berbelit- belit. Penanganan komplain berlangsung lambat dan bahkan tak tertangani secara maksimal, sangat berkebalikan dengan Sertifikasi SDPPI. Hal ini amat disayangkan, sebab kenyataannya untuk menjalankan program remunerasi, negara harus mengeluarkan anggaran yang terbilang cukup besar. Dalam RAPBNP 2010 tercatat biaya remunerasi yang diajukan pemerintah mencapai Rp13,92 triliun. Dengan biaya sebesar itu, tentu saja masyarakat berharap anggaran bisa dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan rakyat.

Meski demikian, di mata 27% responden lainnya, langkah mengkaji ulang program remunerasi dinilai tak perlu dilakukan. Alasannya, tidak adil jika akibat satu kasus yang terjadi di satu lembaga, kebijakan remunerasi di instansi atau lembaga pemerintah lain ikut terpengaruh (lihat tabel). Toh, dibandingkan dengan kasus yang mencuat, banyak pula kebaikan yang didapat dari penerapan remunerasi di antaranya adalah peningkatan kesejahteraan pegawai. Sebagai solusi, responden pada golongan ini berharap kebijakan remunerasi tetap dipertahankan. Namun, diperlukan perbaikan sistem antara lain melalui peningkatan pengawasan yang diiringi dengan pemberlakuan sanksi yang jelas dan tegas. Pasalnya, perbuatan korupsi kerap dilakukan akibat ketiadaan sanksi yang memadai. Bila perlu, agar korupsi tak terus menerus menjadi momok, perlu seleksi ketat pada proses rekrutmen untuk memilih pegawai, baik secara moral maupun profesional.

Kenyataannya, masalah birokrasi memang menjadi salah satu problem besar yang dihadapi Indonesia. Tak sedikit hasil riset yang membeberkan keterpurukan tersebut. Salah satunya adalah hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) terhadap para pelaku bisnis. Dalam survei tersebut, Indonesia dinyatakan sebagai negara terkorup di Asia–Pasifik dengan skor 9,07 dalam skala 1 sampai 10. Sebelumnya, Indonesia menempati peringkat kedua setelah Kamboja. Menjamurnya praktik KKN menjadi indikasi atas keterpurukan itu. Begitu pun pelayanan kepada masyarakat umum yang belum maksimal. Birokrasi yang terlalu panjang, minimnya transparansi publik, serta inefisiensi adalah beberapa bentuk belum maksimalnya pelayanan publik. Lantas, institusi pemerintah mana yang dinilai masyarakat belum mampu memberikan pelayanan yang maksimal? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei integritas sektor publik pada April– September 2009.

Dengan sampel berjumlah 11.413 ada beberapa institusi yang mendapat rapor merah dalam hal kualitas pelayanan. Institusi-institusi tersebut di antaranya adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hasil yang dikeluarkan KPK ternyata tak jauh berbeda dengan hasil jajak pendapat. Saat diajukan pertanyaan terbuka mengenai institusi pemerintah mana yang menurut responden belum memberikan pelayanan maksimal, mayoritas responden atau sebanyak 27% menjawab kepolisian.

Di usianya yang sudah menginjak angka 63 tahun, ternyata masih banyak warga yang mengeluhkan pelayanan aparat kepolisian, khususnya di lapangan. Di antaranya, masih banyak polisi yang bertindak semenamena dengan menilang kendaraan tanpa alasan jelas. Tak hanya itu, aksi oknum polisi yang nakal dengan menjadikan pelanggaran hukum sebagai ladang untuk mengeruk keuntungan melalui suap juga masih marak terjadi. Hal ini diperkuat oleh survei Transparency International Indonesia (TII) di 50 kota Indonesia. Dari survei yang dilakukan sepanjang 2008 lalu, Polri ditempatkan sebagai institusi pemerintahan yang menduduki peringkat pertama dalam kasus suap dengan indeks 48%. Tak sedikit pula publik yang mengeluh lantaran merasa dipersulit pada saat pengurusan surat-surat administratif di kepolisian. Birokrasi yang terlalu panjang dan tidak maksimalnya pelayanan menjadi salah satu keluhan yang juga acap kali terdengar.

Sementara itu, berada di posisi kedua institusi yang dianggap kurang memuaskan dalam memberikan pelayanan publik adalah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan 25% responden. Diikuti berturut- turut di bawahnya oleh kejaksaan serta institusi pajak dan pelayanan di tingkat daerah seperti kecamatan dan kelurahan. Masih buruknya penilaian masyarakat terhadap kinerja beberapa lembaga pemerintahan seperti yang tergambar dalam hasil jajak pendapat dan survei-survei lainnya selayaknya bisa dijadikan bahan introspeksi dan evaluasi diri bagi lembaga-lembaga pemerintah. Dengan statusnya sebagai pengayom masyarakat, dukungan serta kepercayaan publik merupakan satu hal yang sangat penting, dalam hal ini Siapa Yang Bekerja Keras?, tentu hal tersebut menjadi pertanyaan kita masing-masing. Perbaikan kualitas pelayanan dan penciptaan citra sebagai lembaga negara yang bersih dan profesional merupakan dua hal yang harus segera diwujudkan.