Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilkada, Pemilu, Politik, dan Korupsi

Jika Tak Suka Madrid Matikan Saja TV Anda, ya... Artikel tersebut merupakan postingan sebelumnya pada Blogger Indonesia. Dan kali ini sata akan membahas tentang Pilkada, Pemilu, Politik, dan Korupsi. Menurut informasi bahwa korupsi adalah salah satu bukti bad governance. Krisis demi krisis yang kita lalui membuktikan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa masih menghadapi banyak ancaman yang justru datangnya dari dalam.

Pilkada, Pemilu, Politik, dan KorupsiIni tidak dapat dilepaskan dari faktor perilaku orang perseorangan yang memegang amanah untuk memimpin masyarakat. Jika pemimpin masyarakatnya sudah bertindak melukai hati masyarakatnya sendiri dan bersikap lemah, lalu bagaimana ia akan mampu menyelesaikan persoalan bangsa yang lebih besar? Salah satu penyakit yang saat ini sedang dibicarakan masyarakat adalah korupsi.

Penyakit ini berjalan seiring dengan usia bangsa ini. Semakin tua bangsa ini, penyakit korupsi justru menjadi semakin sulit diberantas dan telah menjadi tumor ganas. Banyak pihak kemudian menilai, korupsi sulit diberantas karena belum adanya aparatur hukum yang kuat untuk mengatasinya.

Sebagai orang yang pernah menjadi pemimpin KPK periode 2003–2007, penulis sangat menyadari bahwa penyakit ini begitu berbahaya dan patut diberantas secara nasional dan kegagalannya mengakibatkan bangsa kita sulit keluar dari predikat negara korup. Namun, penulis pun berpendapat bahwa kualitas demokrasi juga menjadi salah satu akar dari masalah korupsi di Indonesia.

Akhir-akhir ini kita saksikan bersama munculnya pemimpinpemimpin baru sebagai hasil dari proses demokrasi. Kemampuan mereka akan menjadi taruhan besar apakah pemimpin baru ini kelak mampu memperlihatkan kemampuannya dalam memimpin, di sinilah perlunya proses seleksi yang dilakukan partai politik dalam rangka menampilkan calon-calon pemimpin berkualitas. Di sini perlu pendidikan politik kepada rakyat dengan menggunakan common sense.

Hal itu untuk mendidik rakyat agar jangan menjadi pemilih yang irasional, tapi jadilah pemilih yang rasional, yaitu pemilih yang memilih pemimpin berdasarkan kompetensi, integritas, dan moral, bukan hanya popularitas. Memang popularitas adalah hukum besi dalam pemilihan langsung seperti yang kita lakukan saat ini. Tanpa popularitas jangan harap bisa menang.

Namun, menjadi tanggung jawab partai politik untuk menjamin bahwa mobilisasi pemilih hanya akan diarahkan pada kandidat yang memiliki kompetensi dan moralitas yang baik, bukan yang bupati (buka paha tinggi-tinggi) dan sekwilda (sekitar wilayah dada). Sementara itu kenyataan saat ini, pemimpin baru itu kebanyakan kader-kader jenggot yang munculnya dari atas secara instan. Tiba-tiba ingin jadi pemimpin. Padahal, tinggal di daerah pemilihannya saja tidak pernah. Jangankan kompetensinya, dikenal saja tidak, akhirnya main duit di sana-sini. Ekses itu yang harus kita pikirkan dan cari solusinya.

Penulis naif bila mengatakan bahwa pilkada itu tidak memerlukan biaya. Political cost, yes! Tapi, money politic, no! Pilkada langsung yang ada saat ini justru menjadi sumber korupsi. Bayangkan kalau seorang yang ingin menjadi bupati harus menghabiskan dana sebesar Rp30 miliar. Itu (masih terhitung) sedikit. Karena mengemban jabatannya selama lima tahun, berarti jangka waktu lima tahun itu dia mesti mengembalikan uang Rp30 miliar yang dihabiskan untuk menjadi bupati. Pertanyaannya, kapan dia akan memikirkan rakyat dengan segala kesulitan dan permasalahannya?

Pikirannya akan dipenuhi soal bagaimana mengembalikan modal untuk jadi bupati tadi berikut bunganya? Untuk mengembalikan Rp30 miliar itu berarti dia harus menghasilkan kira-kira Rp600 juta per bulan. Bagaimana dia akan menciptakan clean and good governance? Bagaimana kita bisa mengharapkan untuk mendapatkan pelayanan pemerintahan yang bersih dan baik dari seorang yang memikirkan bagaimana pengembalian modalnya?

Dengan pemilu yang sarat menang politik ini, bagaimana kita bisa mengharapkan seluruh pemimpin di republik ini, mulai dari kepala desa sampai presiden, anggota DPR RI/DPRD,dan para menteri akan bersih dari korupsi kalau belum apa-apa dia sudah berpikir tentang return of investment (pengembalian modal)? Mungkin dia bilang, Saya tidak pakai uang, kok. Saya pakai pertemanan.

Namun, teman-temannyalah yang kemudian menggunakan uang. Lalu, saat menjabat, dia harus mengembalikan uang itu. Teman-temannya juga tentu akan berharap sesuatu apakah ini fasilitas darinya atau yang lain. Nah, itulah penyebab clean governance tidak bisa berjalan. Sama saja bila seorang calon gubernur atau bupati maju dalam pilkada dengan dibiayai oleh seorang cukong. Ketika dia terpilih dan menjabat, sesungguhnya tangannya sudah diborgol,kakinya sudah dipasung, dan otaknya sudah diprogram terkait pengembalian modalnya tadi,lalu yang ada tinggal janji alias omdo (omong doang). Politik uang ini yang harus kita berantas.

Pertama, mari kita cari tokoh di daerah itu yang punya kompetensi. Dengan demikian dia tidak instan karena dia tinggal mengembangkan popularitasnya. Kedua, mari kita didik rakyat kita agar jangan terima uang dalam proses pemilihan calon eksekutif dan calon anggota legislatif. Fenomena yang terjadi menunjukkan kebalikannya. Malahan tokoh-tokoh intelektual, partai politik, dan tokoh-tokoh masyarakatlah yang mengatakan kepada kandidat pemimpin, Bayar berapa? Kasih apa? Kasih berapa? Biar saya bantu kampanyenya.

Dalam memimpin KPK selama empat tahun, penulis juga semakin memahami bahwa masalah penegakan hukum menjadi suatu sine qua non yang wajib dibenahi apabila ingin mengatasi korupsi dan bahkan untuk menertibkan pelaksanaan pemilu dan meningkatkan kualitas demokrasi. KPK diperlukan atas target tertentu. Jadi, jika targetnya sudah teratasi, lembaga superbody ini bisa dihapuskan.

Masalahnya, apakah target yang diinginkan kita sudah terpenuhi? Dari masa kepemimpinan penulis di KPK saja kasus yang belum diproses ke pengadilan masih menumpuk. Ironisnya, kasus tersebut hampir semuanya berkaitan dengan perilaku dan kualitas dari seorang pemimpin. Hampir semua lini telah mendapat kesempatan disidik oleh KPK atas kasus tertentu. Itu pertanda kualitas kepemimpinan kita mulai dari level daerah hingga nasional begitu rapuh digerogoti penyakit korupsi.

Jika fenomena ini dibiarkan berlarut-larut, akan seperti apa wajah Indonesia ke depan? Di sinilah perlunya reformasi aparatur hukum sebagai aparatur yang akan mewujudkan supremasi hukum. Melalui reformasi aparatur hukum, segala masalah hukum akan ditata, diatur, ditertibkan sehingga semua dispute akan mampu diselesaikan, (dispute dalam bidang politik sekalipun), akan diputuskan secara adil dan transparan oleh hukum dan aparat hukum yang baik.

Akankah supremasi hukum tercapai? Kita semua yang akan meletakkan dasardasarnya dan turut bertanggung jawab dalam menanganinya. Kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, pengacara, dan Dewan Perwakilan Rakyat, memiliki tanggung jawab yang tidak ringan dalam hal ini. Tentu saja reformasi aparatur hukum tidak boleh berdiri sendiri, ia harus disertai dengan reviu sistem politik, sistem dan praktik pemilu sehingga menjadi lebih berkualitas. Jayalah Indonesiaku. Sebelum saya mengakhiri postingan ini, saya akan memberikan sundulan untuk postingan yang berjudul Piala Dunia 2010 afrika Selatan, terima kasih.