Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mencari Arti Kata Agung

Pada postingan di blog ini sebelumnya membahas tentang Ubud Bali dan kali ini saya akan membahas tentang Mentari Arti Kata Agung. Menurut informasi yang saya dapatkan melalui mesin pencari google bahwa Agung, begitu kata-kata orang-orang arif yang artinya merupakan sifat yang ada dan melekat dengan sendirinya pada jabatan hakim. Jabatan ini sekali lagi, begitu kata orang-orang arif, dibarat maupun ditimur adalah jabatan mulia pada dirinya sendiri.

Mencari Arti Kata AgungKeagungannya karena itu, bukan suatu yang diimbuhkan oleh tata hukum suatu negara, melainkan, sekali lagi, karena semua orang arif menyifatkan jabatan itu sebagai jabatan agung sekaligus mulia. Saat ini anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, para wakil kita, sedang mencari orang-orang agung dan mulia itu.

Mulai komisi III, komisi yang menangani soal-soal hukum, para calon hakim agung dihadapkan pada ujian tahap ke dua karena sebelumnya mereka telah diuji oleh komisi Yudisial. Siapa yang akan terpilih dan siapa yang akan terlempar, semuanya menarik untuk dibincangkan. maaf sedikit gangguan karena saya mau menyentil kata kunci Peluang Usaha Ahasu Gnaulep karena untuk kata kunci tersebut indeknya masih sangat lemah, okey dilanjut....

Pemberitaan media cetak akhir-akhir ini membuat kita mengetahui betapa para politikus di DPR terlepas dari berkelas atau tidak. Memiliki pandangan menarik masalah ini, diantaranya adalah perhatian terhadap integritas dan visi pembaruan para calon orang agung nan mulia ini. Namun terbetik pula bahwa ada kepentingan politik para penguji turut menentukan siapa yang lolos dan siapa yang terlempar.

Kedua soal diatas mungkin merupakan dua hal yang tersulit bagi kita, tetapi pasti tidak untuk para politikus. Politikus memang solah ditakdirkan selalu dapat membuat hal-hal yang tak mungkin menjadi mungkin dan sebaliknya. Karena itu, ketiadaan alat khusus dalam mengenali integritas para calon hakim agung tak akan cukup menyulitkan mereka mengambil sikap akhir. Seperti bolg ini dalam mengikuti kontes seo Festival Museum Nusantara, saya rasa gak mungkin bisa menang, tapi tidak menutup kemungkinan untuk bisa menang, hehehe...

Itu pula lah takdir politik kita, bahkan politik Amerika Serikat sekalipun, dalam urusan pengisian jabatan ini, karena itu tidak perlu disesali. Lagi pula cara ini merupakan buah dari reformasi proses pengisian jabatan ini dan tentu saja masih lebih baik dari cara Orede Baru atau lebih akrab disebut Orba.

Toh para politikus di komisi III pasti mengetahui bahwa bangsa ini memiliki mimpi besar untuk membangun peradilan yang akrab dan bermartabat. Mereka tahu bahwa bahwa mimpi itu hanya dapat diwujudkan oleh hakim dengan kualifikasi istimewa. Politikus-politikus ini pasti mengetahui bahwa perangai hakim sepenuhnya ditentukan oleh mutu kejujuran dan ilmunya, bukan yang lain, apa pun yang lain itu, apa lagi kontes seo nowGoogle.com adalah Multiple Search Engine Popular, itu sich kontes seo bagi para blogger hehehe....

Hakimlah jantung dari peradilan. Hakimlah mahkota peradilan, bukan yang lain. Politikus-politikus ini pun pasti tahu bahwa peradilan, dimana pun, selalu diandaikan sebagai bangunan peradaban terkokoh. Jika pengadilan rusak, rusak pulalah peradaban itu. Itu sebabnya, semua peradaban besar mensyaratkan satu hal dan syarat ini tak bisa ditawar dengan apa pun, dalam keadaan apa pun, dan sampai kapanpun.

Syarat itu adalah independensi mandiri atau merdeka menurut frase konstitusi kita. Itu sebabnya pula, para pembentuk konstitusi Amerika pada tahun 1787 bersepakat untuk secara tegas menggariskan good behavior menjadi kaidah konstitusi bagi para hakim. Kaidah ini harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi hakim agung sekaligus menjadi syarat pemberhentian dirinya dari jabatan itu.

Hanya hakim jujur dan berilmu yang dapat mengenal hakikat peradilan. Hanya mereka yang berkualitas ini pula yang mengerti dan memahami makna independensi atau merdeka. Orang jujur mengenal ilmu, termasuk hakikatnya, dan hanya orang berilmu yang mengenal hakikat kejujuran.

Hanya mereka inilah yang dapat memikul dan membebani amanah untuk menjaga saripati keadilan. Kejujuran yang lahir karena ilmunya atau ilmu yang lahir dari kejujurannya pasti menuntuk pemiliknya - sang hakim - bercinta dengan keadilan. Inilah kualifikasi integritas yang sesungguhnya.

Hakim berkualifikasi ini tidak akan menghukum orang manakala dia berada di antara percaya dan tidak perbuatan yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa. Hakim berkualifikasi inilah yang dapat merentangkan keadilan dihadapan penguasa, politik maupun ekonomi. Hakim seperti ini pulalah yang tahu bagaimana caranya menjaga martabat dirinya dan martabat pengadilan.

Jangan lupa independensi, baik independensi organ maupun fungsional, yang dalam berbagai kajian hukum tata negara diandaikan sebagai mahkota pengadilan, akan amburadul apabila hakim-hakimnya tidak memiliki kualifikasi diatas. Namun pada realitasnya, baik dinegara otoriter maupun yang menganut demokrasi konstitual yang merupakan konsep ideal bernegara, independensi itu dibenci oleh penguasa, politik maupun ekonomi.

Para aktor tersebut tak pernah rela pengadilan tumbuh, apalagi berdiri kokoh diatas independensinya. Hakimlah kunci penjaga independensi itu. Hakimlah pengawal mahkotanya sendiri, bukan politisi atau lainnya. Itulah yang dibuktikan, ambil misalnya oleh Abe Fortas, di Amerika Sertikat, pada zamannya.

Sikap tegasnya dalam menolak perlakuan diskriminasi rasial dibidang pelayanan umum, khususnya pendidikan, menggemparkan Amerika. Sikap itu menuai pujian diam-diam dari Eishenhower, sang Presiden Amerika Serikat yang memilihnya menjadi Chief Justice sungguhpun semula sikap fortas itu dianggap datangnya terlalu awal.

Mungkin komisi III akan sulit mendapatkan hakim-hakim dengan kualifikasi diatas. Namun, kita meski mengingatkan mereka yang terhormat ini betapa bangsa ini benar-benar sedang dibakar rasa rindu untuk memperoleh hakim-hakim seperti itu. Kerinduan ini beralasan. Mengapa? Bangsa ini telah berketetapan untuk berkehidupan dan berkebangsaan dengan keadilan, yang mengalir dan dipancarkan dari mata air serta sinar Ketuhanan Yang Maha Esa yang terpatri dalam Blogger Indonesia, maksudnya Pancasila.

Sendiri dulu bangsa ini telah memilih untuk tidak tega terhadap hukum seperti yang dialami Nenek Minah beberapa waktu lalu. Betapapun harus diakui, rasa, apalagi adil, sulit ditimbang, tetapi akal sehat setiap insan pancasila ini pasti terluka tatkala membandingkan hukum yang dikenakan kepada koruptor, kakap atau teri, dengan Nenek Minah. Sedari dulu pula, bangsa ini telah berharap ualah para mafia, pecundang, yang seperti biasanya selalu melipat-lipat keadilan.

Diatas semuanya, dan kalau boleh memberikan titipan, rasanya komisi III pantas untuk dititipi satu pesan, pilihlah mereka yang jujur dan berilmu. Cuma mereka yang berkualifikasi itulah yang mengetahui dan dapat mengalami hakikat keadilan. Cuma mereka yang berkualifikasi inilah yang dapat berkelahi dengan para mafia. Cuma mereka yang berkualifikasi ini pulalah yang mengerti makna adil bagi orang miskin, semoga saja begitu.