Lebih dari 150.000 hektare
Lebih dari 150.000 hektare (ha) lahan kritis ditemukan di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa). Kerusakan tersebut sangat mengganggu keseimbangan siklus hidrologi di kawasan sekitarnya. Kepala Bidang (Kabid) Rehabilitasi, Hutan, dan Lahan Dinas Kehutanan (Dishut) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tobasa Perdinan Siringoringo menuturkan, lahan kritis tersebut meliputi lahan milik masyarakat seluas 4.405,47 ha dan di dalam kawasan hutan seluas 154.100,47 ha.Lahan kritis bisa ditemukan hampir di seluruh kecamatan di Tobasa yang mayoritas masuk di kawasan Danau Toba. Menurut dia, kerusakan lahan disebabkan berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor pengolahan lahan oleh masyarakat yang masih tradisional, yakni dengan melakukan pembakaran hutan.
Tindakan itu berdampak pada meluasnya kebakaran hutan. Kebakaran juga dipicu musim kemarau yang sangat ekstrem. ”Terkadang musim kemarau lebih lama dari musim hujan. Akibatnya, kalauduaharisajakemarau, rumput sudah kering dan mudah terbakar,” tutur Perdinan Siringoringo kepada media massa, kemarin. Lahan kritis juga disebabkan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan berdampak pada meningkatnya kebutuhan untuk perumahan. Banyak warga yang memilih untuk mengobarkan pepohonan untuk perluasan permukiman sehingga membuat kawasan hutan semakin berkurang.
Dishut sendiri sudah berusaha agar kerusakan kawasan hutan tidak semakin parah dengan mengantisipasi laju penebangan pohon. Sejak pertengahan 2010 lalu,Pemkab Tobasa sudah tidak mengeluarkan Izin Penebangan Kayu Tanaman Warga (IPKTM). Hanya saja, warga tetap melakukan penebangan pohon. ”Jika masyarakat yang menebang kayunya sendiri dan mengelolanya untuk keperluannya sendiri,maka pihak pemerintah tidak dapat melarangnya,”tuturnya. Perdinan menambahkan,untuk memperbaiki hutan dan lahan kritis di Kabupaten Tobasa, dibutuhkan biaya yang sangat besar.Bahkan,perbaikan satu ha lahan saja dibutuhkan Rp5 juta.”Jadi,saat ini kami sedang mengupayakan perbaikan untuk hutan-hutan tersebut,”katanya.
Terkait rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyumbangkan 100.000 batang trembesi, menurut Perdinan akan sangat membantu merehabilitasi lahan kritis,termasuk hutan. Sebelumnya, Dishut juga telah menerima sebanyak 3 kg biji trembesi dan menghasilkan sebanyak 1.500 batang. ”Trembesi merupakan tanaman pelindung dan bukan tanaman industri,”ujarnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Dimpos Manalu mengatakan, banyaknya lahan kritis selama ini lebih disebabkan ulah para pengusaha atau cukong-cukong kayu, bukan masyarakat.Terbukti,saat pemberian penghargaan atas konservasi hutan pada Pesta Danau Toba beberapa waktu lalu, penerima penghargaan justru masyarakat.
”Justru yang melakukan penanaman hutan-hutan itu masyarakat, kemudian cukong-cukong dan pengusaha melakukan penebangan. Mereka yang harus disalahkan. Kenapa pemerintah selama ini memberikan hak penebangan hutan kepada pengusaha,”tuturnya. Dimpos juga menilai rencana pemberian 100.000 batang bibit pohon oleh Presiden SBYpatut diapresiasi. Namun, pemberian bibit pohon tidak akan menjadi solusi,sebelum ada penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku-pelaku perusakan hutan. ”Pemerintah harus terlebih dahulu menghentikan segala bentuk penebangan untuk alasan apapun juga di kawasan Tapanuli,” tandasnya. Demikian catatan online Blogger Indonesia tentang Lebih dari 150.000 hektare.
Tindakan itu berdampak pada meluasnya kebakaran hutan. Kebakaran juga dipicu musim kemarau yang sangat ekstrem. ”Terkadang musim kemarau lebih lama dari musim hujan. Akibatnya, kalauduaharisajakemarau, rumput sudah kering dan mudah terbakar,” tutur Perdinan Siringoringo kepada media massa, kemarin. Lahan kritis juga disebabkan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan berdampak pada meningkatnya kebutuhan untuk perumahan. Banyak warga yang memilih untuk mengobarkan pepohonan untuk perluasan permukiman sehingga membuat kawasan hutan semakin berkurang.
Dishut sendiri sudah berusaha agar kerusakan kawasan hutan tidak semakin parah dengan mengantisipasi laju penebangan pohon. Sejak pertengahan 2010 lalu,Pemkab Tobasa sudah tidak mengeluarkan Izin Penebangan Kayu Tanaman Warga (IPKTM). Hanya saja, warga tetap melakukan penebangan pohon. ”Jika masyarakat yang menebang kayunya sendiri dan mengelolanya untuk keperluannya sendiri,maka pihak pemerintah tidak dapat melarangnya,”tuturnya. Perdinan menambahkan,untuk memperbaiki hutan dan lahan kritis di Kabupaten Tobasa, dibutuhkan biaya yang sangat besar.Bahkan,perbaikan satu ha lahan saja dibutuhkan Rp5 juta.”Jadi,saat ini kami sedang mengupayakan perbaikan untuk hutan-hutan tersebut,”katanya.
Terkait rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyumbangkan 100.000 batang trembesi, menurut Perdinan akan sangat membantu merehabilitasi lahan kritis,termasuk hutan. Sebelumnya, Dishut juga telah menerima sebanyak 3 kg biji trembesi dan menghasilkan sebanyak 1.500 batang. ”Trembesi merupakan tanaman pelindung dan bukan tanaman industri,”ujarnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Dimpos Manalu mengatakan, banyaknya lahan kritis selama ini lebih disebabkan ulah para pengusaha atau cukong-cukong kayu, bukan masyarakat.Terbukti,saat pemberian penghargaan atas konservasi hutan pada Pesta Danau Toba beberapa waktu lalu, penerima penghargaan justru masyarakat.
”Justru yang melakukan penanaman hutan-hutan itu masyarakat, kemudian cukong-cukong dan pengusaha melakukan penebangan. Mereka yang harus disalahkan. Kenapa pemerintah selama ini memberikan hak penebangan hutan kepada pengusaha,”tuturnya. Dimpos juga menilai rencana pemberian 100.000 batang bibit pohon oleh Presiden SBYpatut diapresiasi. Namun, pemberian bibit pohon tidak akan menjadi solusi,sebelum ada penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku-pelaku perusakan hutan. ”Pemerintah harus terlebih dahulu menghentikan segala bentuk penebangan untuk alasan apapun juga di kawasan Tapanuli,” tandasnya. Demikian catatan online Blogger Indonesia tentang Lebih dari 150.000 hektare.