Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berbagi Kesenangan dan Keadilan Untuk Anak

Mencari Kata Agung menupakan postingan sebelumnya pada blog ini, dan kali ini saya akan bahas tentang berbagi kesenangan dan keadilan untuk anak. Dalam mitologi Yunani, Dewi keadilan disimbolkan dengan Themis. Sosoknya dipatungkan dalam rupa seorang putri cantik yang membawa neraca dan menghunus pedang dengan mata tertutup.

Berbagi Kesenangan dan Keadilan Untuk AnakPara pembesar hukum di negeri ini pun, tren filosofinya memiliki patung Themis dan di pajang dimeja kerja seorang demonstratif. Mungkin hendak menunjukan bahwa keadilan harus di junjung tegakkan tanpa melihat dan memilih siapa yang membuat perkara atau permasalahan. Sosok Themis memang masih kontroversial, apakah dia layak dinobatkan sebagai Dewi Keadilan. Sepak terjangnya bagi penegakkan keadilan dalam mitologi itu sendiri juga masih dipandang masih sumir. Sayangnya keadilan yang dicoba ditegakkan melalui instrumen hukum masih sadar eikasia yang menjadi ilusi kolektif kita. Keadilan belum pernah serius ditegakkan, gampang tergadai dalam damai hingga mengusik nurani rakyat seperti halnya kontes seo Festival Museum Nusantara yang sangat gampang untuk memicu pembicaraan tentang museum yang ada di Taman Mini Indonesia Indah.

Anehnya dalam kondisi tertentu, teks hukum normasl masih diimani dan di eksekusi secara rigit dan kaku. Instrumen hukum menutup mata, sebagaimana Themis dengan helai kain dimatanya, sehingga tidak pernah jernih melihat siapa yang tengah berperkara dan apa yang diperkarakan. Hukum enggan melihat usia, tingkat perkembangan psikologis, kognis maupun moral, etiologi serta setting sebuah perilaku. Akibatnya pedang keadilan tanpa ampun menebas anak-anak kita dan menumbalkannya di altar hukum formal yang kaku. Kunjungan presiden dan Ibu Ani Bambang Yudhoyono, didampingi para pejabat negara, ke lembaga anak Tangerang dan semoga menjadi oase ditengah gersangnya sahara keadilan bagi negeri ini.

Dalam kajian pustaka, terdapat sedikit perbedaan pemahaman antara bahasa psikologi dengan hukum terhadap diksi anak. Dalam dunia psikologi, frase anak berlangsung hingga usia 12 tahun untuk selanjutnya mereka memasuki frase remaja. Adapun dalam bahasa hukum, batasan usia anak adalah 18 tahun, sedangkan umur nowGoogle.com adalah Multiple Search Engine Popular baru berumur beberapa munggu dan menurut saya bisa dikatakan masih bayi atau baru lahir, hehehe...

Namun kita bisa menarik kesamaan bahwa anak adalah calon manusia dewasa. Kapasitas kognitif, nalar, dan moral mereka masih sangat terbatas karena memang masih dalam frase tumbuh dan berkembang. Undang-undang No 23 Tahun 2002 menegaskan bahwa anak berhak dan terjamin untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mereka adalah makhluk prasosial yang masih lugu sehingga gampang sekali dimanipulasi dan diintimidasi.

Tanggung jawab kitalah untuk membentuknya dengan memberi warna aroma, sistem nilai, etika dan aturan kehidupan hingga dia bisa menjadi makhluk sosial yang bisa hidup dalam harmoni sosialnya. Celakanya perilaku polos anak-anak yang masih belajar norma itu kita kriminalisasi. Perilaku mereka ditakar dengan teks-teks hukum positif sekedar untuk memenuhi kekakuan hukum yang formalitis. Rangkaian panjang proses penyidikkan hingga persidangan tentu saja akan merampas waktu belajar, sosialisasi, dan bermain yang menjadi tugas perkembangan mereka.

Perlakuan perangkat hukum yang kadang tidak ramah dan tidak bersahabat adalah pengalaman traumatis yang tidak sederhana, melelehkan fisik maupun psikis. Stigma anak nakal dan mantan pelaku kriminal pun pasti akan segera dilekatkan pada masyarakat. Rasa malu, minder, rasa tercampakkan, serta hilangnya harga diri anak di khawatirkan membawa dampak negatif dalam perkembangan kepribadiannya.

Menegakkan keadilan bagi anak-anak yang terjerat masalah hukum memang terasa dilematis. Di satu sisi, pembiaran atas tindak kejahatan yang mereka lakukan jelas akan menjadi pembelajaran untuk mereka. Disisi lain memperlakukan mereka sebagai seorang pelaku kriminal adalah tidak bijak bagi hak tumbuh kembang mereka. Mesterpiece yang ditawarkan almarhum Prof Dr Satjipto Rahardjo berupa pradigma hukum progresif layak kita implementasikan dalam kasus ini.

Prof Tjip mengajari kita untuk memomosikan hukum untuk manusia, bukan hukum untuk hukum. Kadang kita harus berani keluar dari kejumudaan hukum yang hitam putih dan status quo yang justru menjatuhkan kita dari rasa keadilan. Setiap kasus harus didekati secara unik sehingga overgenerealisasi atas kasus tidak terjadi. Dihadapan hukum, kenakalan yang khas anak sepantasnya tidak diperlakukan sama dengan perilaku anak yang memiliki perilaku moral defect sehingga menjurus pada perbuatan kriminal yang dilakukan secara sadar dan terencana sistematis.

Demikian pula paradigma pemenjaraan yang bersifat retributif sebagai hukuman yang dikenakan atas tindak pidana yang dilakukan anak tampaknya juga harus segera ditanggalkan. Penjara justru menjadi sekolah yang mengajari mereka untuk lebih cerdik dan licik dalam melakukan tindak kejahatan. Pemerintah tampaknya memang telah menggeser pradigma tersebut dan menggantinya dengan permasyarakatan yang restoratif meski dampak masih setengah hati.

Undang-undang 12 tahun 2005 menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan agar warga bina dapat menjadi manusia sutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat kembali diterima, aktif dan partisipasif dilingkungan masyarakat.