Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengembangkan Kota Berwawasan Lingkungan

Menurut Blogger Indonesia musibah banjir yang melanda Jakarta beberapa waktu lalu, dan selalu menjadi bencana rutin tahunan, serta serentetan bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini seolah menyadarkan kita semua bahwa betapa selama ini pembangunan, termasuk di perkotaan, cenderung mengabaikan keseimbangan tata ruang.

Mengembangkan Kota Berwawasan LingkunganPembangunan yang dijalankan selama ini telah mengabaikan wawasan ekologi dalam gerak dan perjalanannya. Masalah pembangunan perkotaan di mana pun sesungguhnya selalu memiliki kesamaan dalam masalah lingkungan, mulai dari tata ruang, sampah, limbah beracun, polusi udara, hingga ketersediaan air bersih.

Persoalannya, yang terjadi selama ini orientasi pembangunan kota ternyata lebih mengutamakan dimensi pasar tanpa pernah mengindahkan dampaknya terhadap lingkungan. Dalam menjalankan pembangunan perkotaan, selama ini tampaknya ada konsep yang cenderung dilupakan yakni mengenai bagaimana mengidentifikasi dan mengonseptualisasi cita-cita masyarakat berwawasan ekologi perkotaan yang di dalamnya mencakup dimensi-dimensi teknologis, politis, sosiologis, dan juga dimensi kemanusiaan.

Belajar dari beragam bencana yang berulang dari tahun ke tahun, seperti misalnya banjir,maka orientasi pembangunan kota sudah saatnya ditekankan pada penciptaan kota yang manusiawi (humanopolis) dan sebuah kota yang bersahabat dengan lingkungan (ecopolis). Paradigma ini tampak mendesak dan menjadi sebuah keharusan karena kebanyakan kota-kota besar berkembang dengan mengabaikan kepentingan sosial-budaya masyarakat dan cenderung merusak keseimbangan ekosistem.

Indikasi paling kuat akan ketidakseimbangan tata ruang adalah semakin merebaknya komersialisasi ruang yang ditandai dengan semakin membanjirnya bisnis properti dan bisnis lokasi tanpa regulasi yang jelas. Berkecamuknya bisnis di sektor ini tanpa kawalan regulasi yang ketat telah menyebabkan, antara lain, terjadinya penyebaran infrastruktur yang tidak seimbang.

Berangkat dari kekhawatiran tersebut, ada beberapa prinsip yang perlu dikembangkan guna menciptakan sebuah kota berwawasan lingkungan serta melaksanakan pembangunan kota berkelanjutan. Pertama, adalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan atau ekonomi, baik di sektor formal maupun terutama sekali sektor informal.

Selama ini, dalam pembangunan kota-kota terkesan kuat bahwa sektor formal lebih diperhatikan, diprioritaskan, dan diutamakan ketimbang sektor informal. Jarang sekali perencanaan kota menetapkan sejak awal rencana lokasi-lokasi kegiatan sektor informal dalam rencana kota yang dibuat. Akibatnya, para pedagang kaki lima, pedagang asongan, lesehan, dan lain-lain menempati ruangruang kota yang tersisa (left-over urban space) yang menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman dalam bekerja.

Kedua, dengan mengembangkan apa yang disebut dengan engagement atau apa yang lebih dipahami dengan istilah partisipasi. Dalam hal ini keterlibatan dari warga kota dan segenap stakeholders merupakan prasyarat dari pembangunan kota berkelanjutan. Melalui partisipasi masyarakat dan dunia usaha, pemerintah kota juga akan lebih diringankan bebannya.

Paradigma lama yang selama ini menempatkan pemerintah hanya sebagai pemasok atau penyedia (provider) mesti diubah dengan paradigma baru yang memosisikan pemerintah sebagai fasilitator atau pemberdaya (enabler) dalam setiap derap pembangunan kota. Ketiga, dalam pembangunan kota perlu dikembangkan prinsip yang berkaitan dengan equityyang berarti persamaan hak, kesetaraan, atau keadilan.

Artinya bahwa seluruh sumber daya perkotaan mestinya dapat dijangkau segenap lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Seluruh sumber daya alam adalah milik publik yang tidak seyogianya dikuasai segelintir orang seperti yang selama ini telah terjadi. Dalam upaya menciptakan kota yang berwawasan lingkungan, satu hal yang tak boleh diabaikan adalah menyangkut konservasi energi serta etika dalam membangun.

Ini menjadi sebuah prinsip yang penting karena sering kali pembangunan yang dilakukan banyak yang mengabaikan nilai-nilai moral serta lebih mewadahi kepentingan segelintir kelompok saja. Di atas segalanya, aspek utama yang harus dikembangkan adalah aspek environment atau ecology yang merupakan faktor penting tetapi sering terabaikan dalam perencanaan pembangunan kota. Akibatnya, kota-kota kita menjadi semakin pengap, panas, dan gersang di musim kemarau tetapi warga kota juga selalu saja menghadapi musibah banjir di musim hujan. Ruang terbuka hijau dan ruang publik pun semakin sedikit kita temui.

Kendala utama yang teramat sering timbul dalam penataan kota di Indonesia adalah terjadinya benturan antara kepentingan publik dan ekonomi. Tak sedikit rencana tata ruang hijau sebuah kota kalah dengan kepentingan bisnis. Tak jarang pula atas nama peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), penataan lingkungan pun diterabas. Sesungguhnya rangkaian bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini tampaknya cukup menunjukkan akan problem akut tentang kesalahan manajemen penataan lingkungan di Indonesia.

Karena-nya, mendesak untuk melakukan perubahan Undang-Undang tentang Penataan Ruang yang ter-bukti gagal mengatasi problem soal lingkungan. Lebih dari itu, perlu juga kiranya lembaga eksekutif dan legislatif bersamasama merumuskan sebuah regulasi yang berisi antara lain hukum pidana dan basis sanksi secara konkret yang bisa menyeret perusak lingkungan, termasuk pembuat kebijakan tata kota.

Tanpa sanksi hukum yang jelas, maka lagi-lagi yang akan menjadi korban paling parah adalah rakyat kecil. Karena itu, sudah saatnya kotakota harus mulai mengambil prakarsa dan mengambil langkahlangkah konkret untuk meme-cahkan masalah-masalah lingkungan seperti penataan ruang, sampah, polusi udara, kualitas air, tanah, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Ketika isu-isu ini dikesampingkan, maka bencana yang selama ini menimpa hanya akan berulang dan berulang terus.

Ketidak seimbangan antara pertumbuhan kawasan bisnis yang menyita kawasan-kawasan publik dan fasilitas publik jelas merupakan persoalan serius yang mendesak adanya regulasi yang mengaturnya. Menurut Blogger Indonesia Ke depan harus dicegah praktik-praktik komersialisasi ruang yang jelas-jelas mengancam pada keseimbangan ekosistem dan kerusakan lingkungan.